Refleksi Kemerdekaan
Delapan puluh tahun lalu, bangsa ini memproklamasikan kemerdekaan dengan tekad bulat menghapus penjajahan dari bumi Indonesia. Para pendiri bangsa menegaskan dalam Pembukaan UUD 1945 bahwa kemerdekaan bertujuan melindungi segenap bangsa, mencerdaskan kehidupan, menyejahterakan rakyat, dan ikut menjaga perdamaian dunia. Saat itu, kemerdekaan adalah hasil perjuangan bersenjata dan pengorbanan jiwa. Namun, sejarah mengajarkan bahwa kemerdekaan bukanlah garis akhir, melainkan pintu gerbang menuju perjuangan yang lebih panjang.
Kini, ancaman terhadap kemerdekaan tidak lagi datang dari kekuatan asing bersenjata, melainkan dari musuh dalam negeri. Fenomena korupsi yang merajalela dan kerusakan lingkungan yang masif menjadi bentuk penjajahan baru yang licik. Mereka tidak mengusir rakyat secara fisik, tetapi merampas masa depan secara perlahan. UNICEF (2023) menambahkan satu ancaman lain yang tidak kalah serius: kesenjangan gizi, kesehatan mental, dan keterampilan anak-anak. Jika dibiarkan, hal ini akan melahirkan generasi yang lemah dan sulit bersaing di tingkat global.
Jika dulu kemerdekaan diukur dari berakhirnya kekuasaan kolonial, maka hari ini kemerdekaan diukur dari sejauh mana rakyat bebas dari kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, dan keterbelakangan sumber daya manusia. UNESCO (2022) menegaskan, kualitas pendidikan adalah penentu daya tahan bangsa dalam menghadapi krisis ekonomi, degradasi sosial, dan perubahan iklim. Tanpa pendidikan yang kuat, kemerdekaan akan menjadi rapuh dan mudah diguncang oleh krisis multidimensi.
Refleksi kemerdekaan ke-80 ini harus diiringi kejujuran untuk mengakui bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Kesenjangan akses pendidikan, lemahnya integritas penyelenggara negara, kerusakan lingkungan, dan rendahnya literasi gizi dan kesehatan mental anak menunjukkan bahwa perjuangan belum selesai. Kita belum sepenuhnya membebaskan rakyat dari bentuk-bentuk penindasan modern yang membelenggu pikiran, moral, dan hak hidup layak.
Oleh karena itu, memperingati kemerdekaan bukan sekadar mengenang masa lalu, tetapi meneguhkan komitmen untuk masa depan. Kita harus memastikan generasi mendatang mewarisi kemerdekaan yang utuh: bebas secara politik, berdaulat secara ekonomi, dan bermartabat secara moral. Tanpa itu semua, kemerdekaan yang diwariskan para pejuang hanya akan menjadi cerita heroik di buku sejarah, bukan kenyataan hidup yang dirasakan rakyat.
Korupsi & Krisis Lingkungan: Penjajah Gaya Baru
Korupsi telah menjadi penjajah modern yang lebih licik daripada kolonialisme klasik. Menurut laporan Kompas, dalam artikel “10 Kasus Korupsi Terbesar di Indonesia, Rugikan Negara Ratusan Triliun Rupiah” (6 Juni 2024), kasus korupsi PT Timah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 300 triliun, menjadikannya polemik terbesar dalam sejarah korupsi di Indonesia. Kasus-kasus mega korupsi seperti ini bukan hanya mencuri uang rakyat, tetapi menghancurkan fondasi moral dan kepercayaan publik.
Selain PT Timah, ada pula skandal BLBI (Rp 138 triliun) dan sejumput kasus lainnya, seperti penyerobotan lahan PT Duta Palma (Rp 78 triliun), yang menambah daftar luka ekonomi dan sosial bangsa (Tempo.co- 26 Pebruari 2025). Korupsi dalam skala ini menggerogoti anggaran pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur—hak-hak dasar yang seharusnya melindungi dan memperkuat rakyat.
Tak kalah mengkhawatirkan, korupsi di sektor energi juga tengah bergulir. Kasus skandal Pertamina (Wikipedia-11 Agustus 2025) misalnya, mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 193,7 triliun, menurut temuan Kejaksaan Agung. Ini mempertegas bahwa hampir setiap sendi kehidupan publik kini rentan dirongrong oleh budaya korupsi yang merusak sistem.
Berbeda dengan korupsi yang secara terang-terangan menggerogoti anggaran negara, krisis lingkungan bekerja sebagai penjajah diam-diam yang perlahan namun pasti menghancurkan tanah air. Artikel Geograph.id, “Ketika Manusia Menjadi Musuh Terbesar Bumi Sendiri” (25 Maret 2025), menyoroti akselerasi polusi, penggunaan plastik sekali pakai, dan pembuangan sampah sembarangan sebagai ancaman nyata terhadap eksistensi bumi. Dampak ini bukan sekadar persoalan estetika atau keindahan alam, melainkan ancaman langsung terhadap kelangsungan hidup anak bangsa di masa depan.
Kerusakan lingkungan itu nyata: deforestasi, degradasi tanah, dan polusi udara menciptakan dampak domino—krisis iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, gangguan kesehatan masyarakat—yang tidak hanya bersifat ekologis, tetapi juga politik dan ekonomi. Korupsi menghancurkan kepercayaan, dan kerusakan lingkungan menghancurkan harapan masa depan.
Baik korupsi maupun perusakan lingkungan punya pola serupa: mereka mengejar keuntungan jangka pendek, mengabaikan masa depan generasi mendatang. Ketika dana publik dialihkan ke kantong gelap, dan ekosistem kita dihancurkan, generasi penerus menanggung beban hutang sosial dan ekologis. Ini adalah bentuk penjajahan yang paling tragis—kadang tak tampak, tapi berdampak berkepanjangan.
Maka, menghadapi penjajahan gaya baru ini membutuhkan langkah konkret dan holistik: penegakan hukum yang adil, transparansi anggaran secara ketat, pendidikan anti-korupsi sejak dini, dan kebijakan pembangunan berkelanjutan yang berpihak pada rakyat dan bumi. Jika tidak, perayaan kemerdekaan kita hanya akan menjadi reuni simbolik—tanpa substansi realitas kebebasan.
Pendidikan Unggul Berkarakter di Madrasah
Pendidikan unggul tidak semata-mata diukur dari tingginya skor ujian atau ranking internasional. Ia diukur dari sejauh mana mampu mengembalikan ruh pendidikan sebagai pembentuk mentalitas anak bangsa: membangun karakter yang kuat, beriman, dan berintegritas. Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah “memerdekakan manusia lahir dan batin” sehingga ia mampu berdiri tegak di tengah perubahan zaman. Pandangan ini sejalan dengan filosofi pesantren sebagai salah satu pusat pendidikan, yang menekankan perpaduan ilmu, akhlak, dan kecakapan hidup.
Karakter jujur, tanggung jawab, dan kesederhanaan adalah fondasi yang membuat bangsa bertahan menghadapi krisis. Pendidikan yang hanya mengejar nilai akademik tanpa membentuk kepribadian akan menghasilkan generasi pintar tetapi rentan diseret arus korupsi dan materialisme. QS. An-Nisa: 9 mengingatkan kita: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka…” Ayat ini menegaskan bahwa pendidikan adalah upaya menghindarkan anak bangsa dari kelemahan moral, intelektual, dan spiritual.
Penelitian Rambe, Tobroni, dan Joko Widodo (2024) menunjukkan bahwa pendidikan yang mengintegrasikan etika dan keterikatan sosial menghasilkan generasi yang tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga memiliki empati, toleransi, dan kepedulian terhadap lingkungan sosialnya. Pendidikan seperti ini mengajarkan bahwa keberhasilan individu harus berjalan selaras dengan kemajuan bersama, sehingga membentuk masyarakat yang berdaya dan berkarakter.
Namun, di tengah tuntutan global, pendidikan unggul juga harus memberikan dukungan keterampilan abad 21, khususnya penguasaan teknologi informasi (IT) dan sains. Keterampilan ini bukan untuk sekadar mengejar pekerjaan dengan gaji tinggi, melainkan sebagai alat untuk memecahkan masalah bangsa—dari inovasi teknologi ramah lingkungan hingga aplikasi digital yang memperluas akses pendidikan dan kesehatan.
Di titik inilah madrasah tampil sebagai garda terdepan. Sejak masa perjuangan kemerdekaan, madrasah menjadi pusat pendidikan yang memadukan nilai-nilai agama, kebangsaan, dan kecakapan hidup. Madrasah tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga membekali siswa dengan keterampilan akademik dan non-akademik yang relevan dengan zaman. Spirit perjuangan yang diwariskan para pendirinya menjadi modal besar untuk membentuk generasi yang berkarakter kuat.
Pendekatan madrasah yang menyatukan iman, ilmu, dan amal sejalan dengan konsep tripusat pendidikan Ki Hadjar Dewantara—keluarga, sekolah, dan masyarakat—yang saling mendukung pembentukan manusia merdeka. Di madrasah, penguasaan sains dan teknologi dapat diajarkan tanpa mengorbankan adab dan moralitas, sehingga lahirlah lulusan yang mampu bersaing secara global tetapi tetap berpijak pada nilai luhur bangsa.
Pendidikan unggul berkarakter di madrasah harus bersifat holistik: mengasah akal, menguatkan iman, mengasuh hati, dan mengasah keterampilan. Model ini akan melahirkan generasi yang tidak hanya kompeten di bidangnya, tetapi juga siap menjadi pemimpin yang jujur, bertanggung jawab, dan peduli terhadap nasib bangsanya. Inilah generasi yang akan mengisi kemerdekaan dengan karya, bukan sekadar menikmati hasil perjuangan pendahulu.
Jika madrasah mampu menggabungkan karakter yang kokoh dengan penguasaan IT dan sains, maka ancaman “penjajahan baru” seperti korupsi, krisis moral, dan ketertinggalan teknologi dapat diatasi. Sebaliknya, jika pendidikan dibiarkan berjalan tanpa arah, kita hanya akan melahirkan generasi yang pintar secara teknis tetapi rapuh secara moral—sebuah risiko yang bisa menggerus kemerdekaan dari dalam.
Benteng Terakhir Kemerdekaan
Merdeka sejatinya dimulai dari hati yang bahagia dan hidup dalam suasana aman. Kemerdekaan tidak cukup diukur dari bebasnya kita berbicara atau bergerak, tetapi dari terjaminnya rasa damai di rumah, sekolah, dan ruang publik. Pendidikan yang menumbuhkan rasa aman dan percaya diri akan melahirkan generasi yang berani bermimpi sekaligus siap berjuang mewujudkannya.
Musuh terbesar bangsa Indonesia hari ini bukan lagi kolonial bersenjata, melainkan para pelaku korupsi yang merampas kekayaan rakyat dan perusak alam yang menghancurkan masa depan bumi. Mereka adalah “penjajah baru” yang bersembunyi di balik jabatan dan keuntungan pribadi. Melawannya tidak cukup dengan hukum, tetapi dengan membangun benteng karakter sejak dini.
Benteng itu adalah pendidikan yang menanamkan kejujuran, tanggung jawab, kerja sama, kerja keras, dan pola hidup sederhana. Nilai-nilai inilah yang membuat para pejuang kemerdekaan tetap tegar meski dalam keterbatasan. Bangsa yang menanamkan nilai tersebut akan lebih kuat menghadapi tantangan zaman daripada bangsa yang hanya membanggakan kemajuan teknologi tanpa akhlak.
Madrasah memegang peran strategis dalam pertarungan ini. Integrasi Islam dan sains yang diperkuat di madrasah akan melahirkan ilmuwan, teknokrat, dan pemimpin masa depan yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak mulia. Mereka adalah generasi yang akan menjaga kemerdekaan dengan karya, bukan sekadar menikmatinya.
Inilah makna sejati mengisi kemerdekaan: membangun karakter yang kokoh, menguasai pengetahuan dan teknologi, serta menjaga warisan moral bangsa. Ketika madrasah menjadi pusat lahirnya generasi unggul berkarakter, kemerdekaan tidak hanya akan bertahan, tetapi akan berkembang menjadi peradaban yang lebih kuat, lebih bermartabat, dan membawa kebahagiaan bagi seluruh rakyat. Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.
Dr. A. Umar, MA (Dosen FITK UIN Walisongo Semarang)