Transformasi digital di sektor keuangan Indonesia kini memasuki babak baru, seiring langkah strategis Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam memperluas skema perpajakan atas aset kripto.
Jika sebelumnya kripto diperlakukan sebagai komoditas digital, kini pemerintah mulai mengarahkannya sebagai instrumen finansial yang lebih kompleks dan dinamis. Perubahan ini bukan sekadar penyesuaian teknis, melainkan refleksi dari evolusi kripto sebagai bagian integral dari ekosistem keuangan global.
CEO Tokocrypto, Calvin Kizana, menilai bahwa pendekatan baru ini sangat relevan dengan perkembangan penggunaan kripto di masyarakat. Tidak lagi terbatas pada aktivitas jual beli, aset digital kini digunakan sebagai instrumen investasi, derivatif, hingga pengelolaan portofolio.
“Regulasi pajak yang adaptif akan memberikan kepastian hukum yang dibutuhkan pelaku industri dan investor, sekaligus memperkuat fondasi keuangan digital nasional,” katanya.
Langkah ini juga selaras dengan perubahan otoritas pengawasan yang mulai berlaku sejak awal 2025. Pengawasan perdagangan aset kripto resmi berpindah dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Perpindahan ini menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah tidak lagi memandang kripto sebagai barang dagangan digital semata, melainkan sebagai bagian dari sistem keuangan yang memerlukan pengawasan menyeluruh dan regulasi yang holistik.
Calvin menegaskan bahwa pengawasan oleh OJK membuka peluang besar bagi pembentukan kerangka hukum yang lebih komprehensif. Dengan dasar hukum yang kuat, kripto dapat diperlakukan sebagai instrumen finansial yang sah, sehingga regulasi pajaknya pun dapat disesuaikan dengan karakteristik dan risiko yang melekat pada aset digital tersebut.
Saat ini, pengenaan pajak atas transaksi kripto masih mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 63/PMK.03/2022, yang menetapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 untuk setiap transaksi.
Sepanjang kuartal pertama tahun 2025, penerimaan negara dari pajak kripto mencapai Rp1,21 triliun angka yang mencerminkan tingginya partisipasi masyarakat dalam perdagangan aset digital.
Namun, dengan pengelompokan kripto sebagai instrumen finansial, pemerintah membuka ruang untuk pengenaan jenis pajak baru yang lebih sesuai dengan sektor jasa keuangan.
Ini mencakup aktivitas investasi kripto terstruktur, pengelolaan portofolio berbasis aset digital, dan layanan derivatif yang semakin populer di kalangan investor. Perluasan skema pajak ini diharapkan dapat menciptakan ekosistem yang lebih transparan, adil, dan berkelanjutan.
Calvin menyambut baik rencana tersebut dan menyatakan dukungan penuh terhadap upaya Kemenkeu dalam menyesuaikan regulasi pajak dengan realitas penggunaan kripto saat ini.
“Klasifikasi kripto sebagai instrumen finansial akan memberikan kejelasan bagi pelaku usaha dan investor, serta mendorong inovasi di sektor keuangan digital,” katanya lagi.
Tak hanya itu, Calvin juga menekankan pentingnya kesetaraan perlakuan pajak antara kripto dan pasar modal, agar daya saing industri kripto nasional tetap terjaga di tengah kompetisi global.
Masukan dari pelaku industri telah disampaikan kepada Kemenkeu, termasuk usulan agar pengenaan pajak atas transaksi kripto dapat disejajarkan dengan skema perpajakan di pasar saham. Jika transaksi saham dikenakan pajak final yang lebih ringan, maka idealnya kripto pun mendapatkan perlakuan serupa.
Pendekatan yang adil dan proporsional terhadap regulasi pajak diyakini akan menciptakan iklim usaha yang sehat dan mendorong pertumbuhan ekosistem aset digital secara berkelanjutan di Indonesia.