M. Ishom el-Saha (Guru Besar UIN Banten)
Viral dalam pemberitaan terjadi banyak kasus gugatan cerai yang dilakukan ASN (Aparatur Sipil Negara) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang baru diangkat di beberapa daerah, seperti Blitar dan Pandeglang. Kabar ini sontak menjadi sorotan masyarakat dan mereka menyayangkan kenapa hal itu terjadi.
Pasalnya, setelah bertahun-tahun berjuang menembus ketatnya seleksi ASN/PPPK, kabar pengangkatan tentu menjadi momen yang membahagiakan. Status baru membawa harapan: gaji tetap, jaminan masa depan, dan pengakuan sosial. Namun, di balik stabilitas yang tampak itu, justru muncul ironi yang tak sedikit dialami oleh mereka yang baru menapaki tangga kemapanan: rumah tangga retak, gugatan cerai meningkat.
Fenomena meningkatnya angka perceraian pasca pengangkatan ASN/PPPK mulai mencuat di berbagai daerah. Banyak pasangan yang bertahan dalam keterbatasan, justru berpisah setelah mencapai kehidupan yang dianggap mapan. Hal ini menimbulkan pertanyaan yang tidak bisa dijawab secara sederhana: mengapa stabilitas ekonomi tidak sejalan dengan stabilitas emosional dan relasi?
Dalam logika umum, kemapanan seharusnya memperkuat rumah tangga. Namun, kehidupan manusia tidak berjalan linier. Saat status sosial berubah, cara pandang seseorang terhadap dirinya dan pasangannya pun ikut berubah. Dalam banyak kasus, pengangkatan sebagai ASN/PPPK membawa perubahan identitas yang cukup drastis: dari “yang berjuang” menjadi “yang berhasil”, dari “yang menggantungkan” menjadi “yang merasa mandiri”.
Perubahan ini tidak selalu disadari. Namun dalam relasi, ia hadir dalam bentuk ketimpangan baru. Pasangan yang dulu berjalan beriringan, kini merasa berada di jalur yang berbeda. Waktu, perhatian, dan energi yang dulu diprioritaskan untuk keluarga, mulai terbagi ke dalam urusan dinas, pelatihan, pergaulan baru, dan tuntutan profesionalisme.
Fenomena ini juga berkaitan erat dengan dinamika makna dalam hidup. Setelah kebutuhan ekonomi terpenuhi, manusia kerap mencari makna yang lebih dalam. Namun, jika makna itu tidak ditemukan dalam relasi, maka pasangan bisa merasa kosong, tidak nyambung, bahkan tak lagi tahu untuk apa mereka tetap bersama. Inilah yang kerap menjadi penyebab “perceraian senyap”, tanpa konflik besar, tapi dilandasi rasa keterasingan yang makin membesar.
Ketimpangan ritme hidup juga ikut memperlebar jarak. Salah satu pasangan mulai hidup dalam dunia yang lebih sistematis—penuh aturan dan target. Sementara yang lain masih berada dalam dunia hidup yang lama. Perbedaan ini menciptakan semacam “dunia dalam dunia” yang tak mudah dijembatani jika tidak ada komunikasi yang reflektif.
Selain itu, masyarakat kita masih menempatkan ASN/PPPK sebagai simbol keberhasilan. Ini sering kali membentuk ego baru dalam diri seseorang. Mereka merasa lebih dihargai, lebih mampu, bahkan kadang merasa tak lagi membutuhkan pasangan secara emosional maupun finansial. Dalam kondisi ini, relasi mudah tergelincir menjadi relasi kuasa, bukan lagi relasi kesetaraan.
Gugatan cerai yang muncul tidak melulu karena pertengkaran. Justru banyak yang muncul karena rasa sepi yang lama dipendam. Bahasa cinta berubah menjadi bahasa administratif. Kehangatan yang dulu mengikat, kini digantikan oleh rutinitas dan peran sosial yang kaku. Hubungan kehilangan napasnya.
Kemapanan, pada akhirnya, bukan jaminan bagi keharmonisan. Ia justru menuntut kedewasaan baru, baik secara pribadi maupun sebagai pasangan. Tanpa pembaruan makna dan komunikasi, kemapanan bisa menjadi ruang hampa yang membunuh keintiman. Rumah tangga yang dulu tumbuh dari perjuangan bersama, bisa runtuh karena kehilangan arah di tengah pencapaian.
Dalam konteks ini, negara dan lembaga kepegawaian tidak bisa hanya mempersiapkan pegawai dari sisi teknis dan administratif. Pendidikan karakter dan penguatan relasi juga menjadi penting. Karena relasi yang sehat adalah fondasi dari integritas seorang ASN/PPPK.
Bagi pasangan yang sedang atau baru saja meraih kemapanan status sisial, penting untuk memahami bahwa perubahan status sosial perlu diimbangi dengan kematangan emosional. Tujuan hidup bersama perlu diperbarui, bukan dibiarkan usang. Jika tidak, kemapanan bisa menjadi awal dari keterasingan—dan keterasingan yang dibiarkan, bisa berubah menjadi perpisahan. Wallahu a’lam
M. Ishom el-Saha (Guru Besar UIN Banten)