Negeri Sembilan (Kemenag) — Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, Abu Rokhmad, mengungkapkan pentingnya integrasi fikih dan astronomi dalam penentuan hilal agar syiar Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha tetap terjaga di tengah kemajuan teknologi modern.
Hal itu disampaikannya dalam Forum Perdana Ehwal Islam bertema “Meniti Waktu” yang berlangsung di Studio Utama Yusuf, Kompleks Islam Putrajaya, Malaysia, Kamis (24/7/2025).
Acara yang disiarkan langsung RTM TV1 itu menghadirkan panelis dari tiga negara anggota MABIMS (Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Singapura). Selain Abu Rokhmad, hadir perwakilan dari Kementerian Ehwal Agama Brunei Darussalam, Muhammad Zulhilmi Mohd Jefri dan anggota Jawatankuasa Fatwa dan Falak Singapura, Firdaus Yahya. Diskusi dipandu Zakaria Othman dan diikuti secara luas melalui siaran televisi maupun platform digital.
Abu Rokhmad mengatakan, hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (pengamatan visual hilal) bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan dua metode yang saling menguatkan. “Hilal bukan sekadar persoalan teknis astronomi, tapi juga syiar agama. Integrasi hisab dan rukyat itu esensi ilmu falak. Di situlah agama dan sains bertemu,” tegasnya.
Menurutnya, Indonesia memiliki kekhususan, karena wilayahnya sangat luas dan dihuni berbagai ormas Islam yang kadang memiliki metode berbeda. “Di sinilah peran Kementerian Agama menjadi penengah agar perbedaan tak memecah belah umat. Perbedaan awal Ramadan atau Idulfitri itu wajar, tapi semangat kita adalah mempersempit perbedaan dan memperluas titik temu,” ujarnya.
Abu Rokhmad juga membahas posisi strategis Aceh sebagai wilayah paling barat Indonesia. Lokasi ini sering menjadi kunci rukyat hilal karena posisi bulan lebih tinggi dibanding wilayah lain. “Bisa saja hilal terlihat di Aceh, tapi tidak di Singapura atau Brunei karena faktor geografi. Pertanyaannya, bisakah hasil rukyat Aceh menjadi acuan bagi seluruh negara MABIMS? Ini yang sedang kita bahas agar ada kesepahaman,” jelasnya.
Lebih lanjut, Abu Rokhmad menekankan pentingnya literasi falak untuk generasi muda. Di Indonesia, ilmu falak diajarkan di pesantren, madrasah, hingga perguruan tinggi Islam, bahkan tersedia program sarjana, magister, hingga doktoral. “Falak bukan hanya soal puasa dan lebaran. Ia mengatur waktu salat, arah kiblat, hingga kalender ibadah sepanjang tahun. Ini ilmu yang tak boleh hilang,” tambahnya.
Guru Besar UIN Walisongo, Semarang itu juga mengapresiasi kesepakatan kriteria Imkanur Rukyah MABIMS (tinggi hilal minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat). “Kriteria ini adalah jalan tengah. Dengan standar bersama, kita semakin dekat pada keseragaman penetapan Ramadan dan Syawal di Asia Tenggara,” katanya.
Sementara itu, Muhammad Zulhilmi Muhammad Jefri dari Kementerian Khas Ehwal Agama Brunei Darussalam menjelaskan, negaranya telah memiliki Jawatankuasa Teknikal Falak Syar’i yang disahkan Sultan Brunei sejak 2003. Komite ini melibatkan berbagai lembaga, mulai dari Jabatan Mufti hingga Persatuan Astronomi Brunei. “Kami tetap melaksanakan rukyat hilal sebagai syiar, tapi memanfaatkan data hisab modern untuk menentukan lokasi dan waktu rukyat paling ideal,” tuturnya.
Menurut Zulhilmi, forum MABIMS sangat strategis karena menjadi ruang bertukar pengalaman. “Kami belajar dari Indonesia yang luas dengan banyak ormas, dan dari Singapura yang mengandalkan hisab karena faktor cuaca dan polusi cahaya. Brunei mengambil titik tengah untuk menjaga keseragaman,” katanya.
Ia juga menegaskan bahwa falak bukan hanya soal penentuan puasa dan lebaran. “Sayangnya, masyarakat hanya ingat ilmu falak menjelang Ramadan atau Idulfitri. Padahal ia juga mengatur waktu salat, arah kiblat, bahkan kalender ibadah tahunan,” ungkapnya.
Zulhilmi berharap, kriteria MABIMS bisa diperluas penggunaannya. “Kalau hilal sudah jelas terlihat di Aceh, kenapa tidak dijadikan acuan bagi Brunei, Malaysia, atau Singapura? Ini langkah kecil menuju persatuan hilal Nusantara,” usulnya.
Dari Singapura, Firdaus Yahya, anggota Jawatankuasa Fatwa & Falak, memaparkan keunikan tantangan di negerinya. “Singapura itu minoritas muslim tapi punya mufti. Namun karena hujan sepanjang tahun dan polusi cahaya tinggi, hampir mustahil melihat hilal. Dalam 80 tahun terakhir, tak ada satu pun catatan hilal terlihat pada 29 Sya’ban atau 29 Ramadan,” jelasnya.
Karena itu, Singapura mengandalkan hisab sepenuhnya untuk menentukan awal bulan. “Kami tetap berpegang pada syariat. Rasulullah saw. bersabda, kalau tidak bisa melihat hilal karena tertutup awan, maka sempurnakan hitungan bulan. Jadi hisab kami tidak bertentangan dengan hadis,” tegas Firdaus.
Ia menambahkan, Singapura tetap merujuk kriteria MABIMS. “Kalau secara hisab hilal memenuhi syarat Imkanur Rukyat, esoknya awal bulan. Kalau tidak, bulan disempurnakan 30 hari. Ini solusi praktis sekaligus syar’i bagi kami,” katanya.
Meski berbeda metode, Firdaus berharap semangat MABIMS tetap dijaga. “Kalau nanti teknologi observasi makin maju, mungkin rukyat bisa dihidupkan kembali di Singapura. Yang terpenting sekarang adalah tetap sejalan dengan semangat penyatuan,” ujarnya.
Perbedaan penentuan hilal adalah dinamika, menurutnya, bukanlah sumber perpecahan. Integrasi fikih dan astronomi dianggap sebagai jalan terbaik agar umat memahami bahwa setiap keputusan memiliki dasar ilmiah sekaligus syar’i. MABIMS pun diharapkan menjadi model regional penyatuan kalender Islam yang ilmiah, moderat, dan mengutamakan syiar.
(An/Mr)