Di tengah transformasi digital global yang kian cepat, Indonesia mengambil langkah strategis untuk memastikan pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) berlangsung secara etis, aman, dan berdampak positif.
Kementerian Komunikasi dan Digital saat ini tengah merancang dua instrumen kunci peta jalan nasional dan regulasi lintas sektor yang akan menjadi fondasi tata kelola AI di Indonesia, dengan pendekatan inklusif dan multisektor.
Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, menegaskan bahwa regulasi AI tersebut akan diformalkan melalui Peraturan Presiden (Perpres), yang nantinya berlaku di semua lembaga dan sektor.
Dalam pertemuan bilateral bersama Wakil Duta Besar Singapura untuk Indonesia, Terrence Teo, Nezar mengungkap bahwa peta jalan dan regulasi ini disusun bukan hanya untuk merespons tren teknologi, tetapi juga untuk menciptakan standar etika dan sistem pengawasan yang selaras dengan nilai demokrasi dan hak publik.
“Akan ada dua produk utama, yaitu peta jalan dan regulasi AI, serta Perpres yang dapat berlaku lintas institusi. Dengan pendekatan ini, kami memperkuat kerangka kebijakan tentang AI agar dapat menjadi acuan nasional,” ungkap Nezar dalam diskusi di Kantor Komdigi, Jakarta Pusat belum lama ini.
Indonesia sejatinya telah memiliki landasan hukum yang relevan terkait pengembangan teknologi AI, termasuk UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Pelindungan Data Pribadi (PDP), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta peraturan internal dan edaran etika AI yang telah dirumuskan oleh sejumlah kementerian.
Seluruh regulasi tersebut berperan penting dalam memitigasi risiko, sekaligus memberikan arahan yang jelas dalam adopsi dan pemanfaatan AI secara bertanggung jawab.
Menurut Nezar, regulasi yang sudah ada harus diperkuat dan dirangkai menjadi satu kerangka yang integratif. Dengan begitu, baik pelaku industri, pemerintah, akademisi, hingga masyarakat dapat mengembangkan dan menggunakan teknologi AI dengan rambu-rambu yang jelas.
“Dengan seperangkat peraturan ini, saya yakin kita bisa memiliki referensi yang solid bagi semua pemangku kepentingan. Kita juga dapat menavigasi dan mengantisipasi risiko teknologi ini agar tetap berpihak pada manusia dan prinsip kemanusiaan,” paparnya.
Di luar regulasi, proses penyusunan peta jalan AI nasional kini memasuki fase intensif. Kementerian Komdigi melibatkan skema kolaborasi quadhelix yakni sinergi antara sektor usaha dan industri, akademisi, masyarakat sipil, serta pemerintah.
Proses ini telah berlangsung hampir dua bulan penuh, dibantu oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) dan konsultan global Boston Consulting Group (BCG).
“Kami sangat mengapresiasi komitmen semua pihak dalam membentuk peta jalan nasional AI. Ini adalah kerja kolaboratif lintas sektor yang akan menentukan masa depan digital Indonesia. Harapannya, draft peta jalan ini bisa difinalisasi pada akhir bulan,” jelas Nezar.
Peta jalan AI nasional tersebut akan berfungsi sebagai panduan prinsipil bagi kementerian dan lembaga terkait dalam mengadopsi teknologi kecerdasan buatan ke berbagai sektor prioritas.
Beberapa sektor yang telah diidentifikasi untuk implementasi teknologi AI antara lain transportasi cerdas, pendidikan berbasis data, layanan kesehatan digital, serta sistem keuangan yang lebih adaptif dan aman.
Nezar menyebut bahwa dokumen tersebut bukan sekadar arahan teknis, tetapi juga mengandung prinsip-prinsip etika dan kebijakan adopsi yang membahas apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta mekanisme mitigasi risiko.
“Peta jalan ini adalah panduan navigasi nasional tentang cara mengadopsi AI. Kami ingin menghadirkan dokumen yang tidak hanya teknokratis, tetapi juga humanis dan visioner,” tambahnya.
Pemerintah berharap, peta jalan dan regulasi AI yang tertuang dalam Perpres akan menjadi acuan yang mampu menjembatani antara semangat inovasi dan perlindungan publik. Kedua dokumen ini diharapkan bisa mendukung terbentuknya ekosistem AI nasional yang berdaya saing global, tangguh terhadap ancaman digital, dan adaptif terhadap perubahan zaman.