Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Republik Indonesia tengah menggodok kebijakan baru yang bertujuan memperkuat fondasi perpajakan nasional, khususnya untuk instrumen digital dan investasi yang sedang naik daun: aset kripto dan logam mulia (bullion).
Kebijakan ini merupakan bagian dari langkah strategis pemerintah dalam menyongsong era digital ekonomi yang kian kompleks, sekaligus memastikan transaksi-transaksi modern tak luput dari kewajiban fiskal yang proporsional.
Menurut Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, otoritas fiskal sedang merampungkan sejumlah kebijakan penting yang akan mulai diterapkan secara lebih sistematis mulai tahun 2026.
“Fokus utama DJP meliputi pengenaan pajak atas transaksi kripto, penunjukan lembaga jasa keuangan untuk bullion, serta digitalisasi pemantauan transaksi luar negeri melalui platform asing. Seluruh kebijakan ini akan disertai dengan penguatan sistem internal DJP agar implementasinya dapat berjalan lebih efisien dan adaptif,” jelasnya.
Sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68/PMK.03/2022 pada 1 Mei 2022, aset kripto resmi masuk dalam cakupan sistem perpajakan Indonesia. Berdasarkan data DJP hingga 31 Maret 2025, penerimaan dari sektor ekonomi digital tercatat mencapai Rp34,91 triliun, di mana Rp1,2 triliun di antaranya berasal dari pajak transaksi kripto. Ini menunjukkan bahwa potensi fiskal dari ekosistem digital semakin signifikan dan tidak dapat diabaikan.
Namun, tantangan masih menghantui implementasi pajak kripto. Literasi perpajakan yang rendah di kalangan pelaku industri, ditambah dengan karakter transaksi yang bersifat anonim dan kompleks, menjadi sorotan utama.
DJP merespons isu ini dengan memperkuat edukasi serta menyederhanakan mekanisme pelaporan, demi menciptakan ekosistem perpajakan yang lebih ramah pengguna namun tetap akuntabel.
Kebijakan ini mendapat sambutan positif dari pelaku industri aset digital. CEO Tokocrypto, Calvin Kizana, mengapresiasi langkah DJP yang dinilainya sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam membangun sistem perpajakan yang inklusif dan berorientasi pada kemajuan teknologi finansial.
“Pendekatan yang transparan dan proporsional sangat dibutuhkan agar regulasi pajak tidak menjadi penghambat, melainkan pendorong pertumbuhan industri,” kata Calvin.
Calvin juga menyoroti perlunya penyesuaian atas status aset kripto yang kini berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ia menegaskan bahwa jika kripto dianggap sebagai produk keuangan, maka tidak seharusnya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 0,11% seperti saat ini.
Hal ini sejalan dengan produk keuangan lain yang umumnya dikecualikan dari PPN. Calvin berharap revisi atas PMK No. 81 Tahun 2024 dapat mengakomodasi perubahan tersebut secara bijak.
Lebih jauh, Calvin membandingkan regulasi perpajakan kripto di Indonesia dengan negara lain. Di Amerika Serikat, misalnya, capital gain dari aset digital dapat dikenakan pajak penghasilan hingga 37%.
Sementara itu, Thailand justru mengadopsi pendekatan progresif dengan membebaskan pajak penghasilan pribadi atas transaksi kripto lokal hingga tahun 2029.
“Langkah fiskal yang suportif seperti ini dapat meningkatkan daya saing industri dan menarik lebih banyak pelaku serta investor ke pasar domestik,” katanya lagi.
Dengan sistem perpajakan yang semakin kuat dan proporsional, serta dukungan kebijakan adaptif terhadap perkembangan teknologi, industri aset digital dan bullion di Indonesia diyakini mampu tumbuh lebih sehat dan transparan.
Langkah ini sekaligus membuka jalan bagi kontribusi yang lebih besar terhadap pendapatan negara, seiring dengan berkembangnya ekosistem digital nasional.