Lebih dari satu dekade manajemen kompensasi ASN berubah. Jika anda seorang Pegawai Negeri Sipil dan pensiun sebelum 2014 anda tidak akan mengenal tunjangan kinerja (Tukin). Tukin merupakan formula insentif Pemerintah berbasis job grading. Yaitu skema yang menggambarkan tingkatan tanggung jawab, dan kinerja pegawai menggantikan sistem insentif yang sebelumnya datar dan seragam.
Tukin dan job grading dianggap berhasil mengoreksi kesenjangan penghasilan ASN, yang dimasa sebelumnya timpang tak merata. Pada babak awal, Tukin adalah oase di keringnya padang gurun kehidupan seorang Pegawai Negeri Sipil. Sementara job grading adalah jalur alternatif pegawai meningkatkan grade-nya ketimbang mengejar jabatan eselon yang kian terbatas. Namun setelah lebih dari satu dekade, sistem ini menjadi labirin baru, penuh kebuntuan. Di sinilah cerita tentang grade tujuh bermula. Sebuah level ASN Non-jabatan yang awalnya netral, kini menjadi simbol dari stagnasi karier dan kegagalan manajerial melihat performa di balik angka.
Di banyak instansi, grade tujuh menjadi “titik mati” bagi para ASN senior (rentang masa kerja 10-25 tahun masa kerja) yang tidak memiliki jabatan, dan tidak berhasil melakukan alih fungsi. Meski kontribusi mereka nyata, loyalitas tak diragukan, dan tanggung jawab kadang lebih besar dari yang menjabat, grading system tak mampu mengakomodasi nilai pengabdian semacam ini.
Jalan Keluar yang Tak Mudah: Alih Fungsi ke Jabatan Fungsional
Pemerintah sejatinya membuka jalan keluar dari jebakan ini. ASN non-jabatan diberi kesempatan untuk beralih ke jabatan fungsional, yang memungkinkan mereka menaikkan grade tanpa harus menduduki posisi struktural. Secara normatif, ini adalah solusi adil. Namun dalam praktiknya, alih fungsi menjadi jalan terjal dan penuh rintangan, terutama bagi ASN lama.
Mari kita lihat sebuah potret nyata:
“Bu Ani, seorang ASN administrasi telah mengabdi lebih dari 20 tahun di sebuah instansi, dikenal sebagai pegawai telaten dan andal. Namun karena tidak mendapatkan jabatan struktural maupun fungsional, saat sistem grading diterapkan, ia langsung ditempatkan di grade tujuh. Pada masa awal Ibu Ani senang dengan tambahan penghasilannya. Lambat laun ia menyadari bahwa grade tujuh tadi adalah titik akhir baginya. Untuk melakukan upgrading dia harus secara mandiri beralih ke jabatan fungsional.
Tak semudah membalikkan telapak tangan bagi Bu Ani, dia tidak bisa sembarang memilih Jabatan Fungsional, karena setiap jabatan fungsional memerlukan pengalaman spesifik. Ia hanya bisa mendaftar ke salah satu jabatan saja sesuai pengalamannya. Ia harus aktif mencari lowong jabatannya itu, sebab jika tidak mencari ia tidak akan mendapat. Lowongan tidak selalu tersedia karena terbatas pada kuota, sekalipun posisi pejabat fungsional sebelumnya kosong tidak serta merta bu Ani bisa mengisinya. Setelah pendaftaran terbuka ia harus mengumpulkan file pekerjaan lama sebagai syarat administrasi jika beruntung diperbolehkan ikut test kompetensi yang tentu tidak mudah.
Seiring kegagalan Ibu Ani “naik kelas” rekan barunya dari unsur PPPK atau CPNS langsung berada di grade setingkat lebih tinggi darinya. Dan dengan mudahnya menduduki jabatan fungsional yang ia tuju selama ini.
Kisah Ibu Ani memberi kesan, Pertama, peralihan ke fungsional bagi segmen ASN tertentu memiliki jalan terjal berliku. Terlihat dari syarat administratif yang rumit dan tidak terstandar dengan baik. Informasi yang tersedia pun seringkali bias dan berserak. Belum lagi miss konsepsi yang sering terjadi antara instansi pembina eksternal dan internal menambah kegamangan. Sehingga banyak ASN kemudian yang tidak tahu harus berbuat apa dan memulainya dari mana.
Kedua, tingkat kesulitan uji kompetensi dianggap terlalu tinggi, bukan karena mereka tidak mampu menjawab soal, tetapi karena ujian yang diberikan kadang tidak relevan dengan realitas tugas mereka selama ini. Ketiga, dan ini yang paling umum adalah minimnya sosialisasi dan pendampingan. Sehingga proses alih fungsi hanya bisa dilalui oleh mereka yang aktif mencari tahu sendiri.
Akibatnya, sebagian besar ASN lama yang sebenarnya ingin meningkatkan jenjang karier akhirnya menyerah. Mereka tetap berada di grade tujuh bukan karena tidak ingin maju, tetapi karena sistem yang tidak cukup memberi jalan.
Ironisnya pemerintah baru saja memberi “karpet merah” bagi para pegawai baru (PNS dan PPPK). Mereka yang minim pengalaman tetiba ditempatkan dalam jabatan fungsional yang telah terklasifikasi. Sehingga otomatis langsung mengisi grade lebih tinggi, bahkan saat mereka baru sehari bekerja. Tentu bukan salah sang pegawai baru, kebijakannya yang mengatur begitu.
ASN lama yang sudah belasan hingga puluhan tahun bekerja stagnan di grade tujuh, sementara pegawai baru berada setingkat diatasnya. Bukan karena mereka lebih baik, tapi karena sistem membuka jalan bagi mereka, sementara menutup peluang bagi yang sudah ada lebih dulu. Ini bukan semata masalah teknis, tapi menyentuh rasa keadilan yang mendalam. Apalagi terdapat sejumlah fakta bahwa perbedaan grade tidak serta merta menggambarkan perbedaan beban kerja yang signifikan.
Di banyak kantor pemerintah, fenomena ini mengakibatkan demotivasi dan polarisasi nyata. Segmentasi ASN senior mulai kehilangan semangat. Bekerja seadanya, merasa tidak dihargai, dan cenderung apatis terhadap inovasi. Tak sedikit yang merasa dikorbankan oleh sistem yang katanya adil, tapi nyatanya menyisihkan mereka yang dulu membangun dari bawah.
Di sisi lain, pegawai baru yang relatif tidak tahu menahu menjadi serba salah. Karena keberadaan mereka seolah menjadi ancaman ketidakadilan bagi para seniornya. Jika dibiarkan kelas sosial dan polarisasi antar kelas akan terjadi. Budaya kerja yang menghendaki kenyamanan akan terganggu dengan disharmoni semacam ini. Saya tidak bisa membayangkan jika eskalasi ini tidak segera dihentikan, sama saja kita membunyikan lonceng kematian reformasi birokrasi.
Penutup
Grade tujuh bukan sekedar angka. Ia adalah suara yang tak terdengar dari ribuan ASN yang telah mengabdi, namun tidak diberi tempat dalam sistem yang baru. Mereka tidak menolak reformasi. Mereka hanya ingin reformasi yang adil, yang melihat mereka bukan sebagai beban masa lalu, tetapi bagian penting dari masa depan birokrasi. Saatnya Negara membuka telinga lebih lebar agar rintihan di keheningan ini dapat terdengar . Karena jika reformasi hanya berjalan untuk sebagian orang, maka ia bukan reformasi. Ia hanyalah perubahan bentuk dari ketidakadilan yang sama.
Evaluasi job grading mutlak diperlukan. Jalur alih fungsi harus terbuka, sederhana dan berkeadilan. Penetapan grading perlu memberi ruang bagi pengalaman dan kontribusi jangka panjang, Bukan sekadar posisi formal yang sedang diemban. Atau jika memang sulit mengukur sistem grading secara objektif sebaiknya dihapuskan saja.
Sudah jadi rahasia umum bahwa sebagian besar tunjangan kinerja tidak sungguh-sungguh mencerminkan beban kerjanya. Dan tidak semua jabatan fungsional mengerjakan pekerjaan fungsionalnya. Jabatan fungsional malah bersifat kuasi struktural. Kelihatannya fungsional tapi rasanya struktural. Itu mengapa konsep perampingan struktur belum mampu memotong rantai birokrasi njelimet yang publik keluhkan dari kita.
Martin H. Siagian (ASN Ditjen Bimas Kristen Kemenag RI)