Duka bagi umat beragama kembali terjadi. Warga keberatan dengan aktivitas retret dan ibadah di rumah milik Maria Veronica Nina (70) di Sukabumi. Sebenarnya, warga telah menempuh jalur persuasi, yaitu melaporkan kejadian itu kepada kepala desa setempat. Mereka meminta klarifikasi, namun pemilik rumah tidak mengindahkan. Akhirnya, perusakan properti milik Nina terjadi. Tujuh orang pelaku perusakan ditahan polisi (Kompas, 3/7).
Ringkasan cerita di atas, dikutip dari media, apa adanya. Mungkin sudah bisa ditelisik siapa yang memulai dan siapa yang berbuat salah. Menemukan pemicunya (trigger) tidak sulit. Mengidentifikasi siapa pelaku perusakan tidak perlu bersusah payah. Lalu, penyebab utamanya (root causes) apa? Jawabannya membutuhkan kejujuran kita sebagai umat beragama.
Jika kita jujur, ada harapan besar untuk menutup duka di atas sebagai cerita terakhir dari sikap intoleransi antar umat beragama. Kita bisa menggantinya dengan kisah indah antar mereka dengan saling menghormati dan mengasihi. Seraya sadar mengakui bahwa hubungan yang kurang baik antar umat beragama sangat merugikan kita, sebagai bangsa dan melukai diri sendiri, sebagai umat beragama.
Umat beragama mesti banyak belajar, baik tentang agama sendiri maupun agama orang lain. Rasanya sangat penting untuk saling terbuka berdialog dan saling memahami di antara mereka. Sebagian persoalan yang terjadi, disebabkan karena kita tidak tahu ‘mereka’ dan mereka tidak tahu ‘kita’. Kita dan mereka masih berjarak dan belum menjadi kami.
Dalam konteks ini, menjadi sangat tidak penting untuk mencari tahu siapa yang salah—dalam kasus di atas. Karena setiap orang—punya kecenderungan—pasti tidak mau disalahkan, apalagi di depan umum. Kita semua punya naluri dan siap dengan seribu cara untuk membela diri, membalikkan keadaan dan bahkan melakukan serangan balik (counter attack). Orang yang jelas-jelas salah sekalipun, akan menolak dikatakan salah. Apalagi yang merasa benar dan didukung oleh firman-firman Tuhan di belakangnya.
Pendekatan Baru
Karena itu, dalam konteks penyelesaian konflik tempat ibadah, pendekatan mencari pihak yang salah perlu ditinjau ulang. Pendekatan ini hanya akan menyimpan luka mendalam bagi kedua belah pihak. Suatu saat akan kambuh, dan mungkin lebih komplikatif lagi. Dipadu dengan pendekatan ‘memviralkan’ kasus melalui media sosial, justru makin memperparah keadaan.
Kita perlu pendekatan baru yang lebih mencerahkan dan menenangkan. Pendekatan yang lebih humanis dan deliberatif dalam penyelesaian masalah ibadah dan tempat ibadah. Suatu pendekatan yang lebih jujur dan dewasa dalam beragama dan mensikapi isu keberagamaan. Saya sebut sebagai pendekatan kejujuran. Pendekatan yang sama-sama ingin menghidupkan pihak lain, bukan mematikan.
Isu tentang ibadah dan tempat atau rumah yang digunakan untuk ibadah selalu menjadi masalah yang berulang. Kelihatannya, perlu didefinisikan ulang tentang apa yang dimaksud dengan ibadah dan tempat beribadah. Jika bukan definisi ulang, paling tidak ada kesepahaman publik yang sama tentang ap aitu ibadah dan tempat ibadah.
Bagi umat Islam misalnya, ibadah memiliki definisi yang khas. Begitu pula dengan agama-agama lain. Islam menganggap bahwa semua kegiatan bisa menjadi ibadah bila diniatkan sebagai ibadah. Kecuali bila kegiatan itu nyata-nyata merupakan kejahatan, pelanggaran dan perbuatan maksiat lainnya. Bekerja, bergaul dengan umat agama lain, silaturahmi, bahkan tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan untuk kebaikan.
Fikih membagi ibadah menjadi dua bagian. Pertama, ibadah mahdah (murni) yaitu ibadah yang waktu, tempat, tata cara dan sebagainya ditetapkan secara rinci dan jelas oleh ajaran Islam. Salat, puasa, haji, zakat merupakan contohnya.
Kedua, kebalikan dari ibadah mahdah adalah ibadah ghairu mahdah, di mana tata cara, waktu, tempat dan jenisnya tidak diatur secara spesifik. Semua hal baik yang diniatkan untuk kebaikan adalah ibadah jenis ini. Pendidikan, pengajian, tahlilan, yasinan, manaqiban dan sebagainya merupakan ibadah ghairu mahdah. Seringkali melibatkan banyak jemaah, tetapi tergantung skalanya. Jika menimbulkan keramaian, biasanya membutuhkan izin atau pemberitahuan kepada pihak berwenang.
Saling Belajar
Rasanya, kita juga perlu memahami atau paling tidak, kita harus tahu jenis-jenis ibadah milik agama lain. Misalnya, yang kita tahu, agama tertentu melaksanakan ibadahnya setiap minggu di rumah ibadah. Jika sifatnya doa atau ibadah harian, biasanya dilaksanakan personal di rumah. Tidak bersifat massal, tidak ada imam, apalagi melibatkan jemaah dari luar wilayah.
Setiap ibadah yang bersifat massal, membutuhkan ruang dan waktu tertentu serta berpotensi mengganggu lingkungan sekitar, memang harus diatur. Karena itu, pembangunan rumah ibadah diatur dalam PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Jadi, rumah ibadah adalah bangunan yang memenuhi syarat menurut PBM di atas.
Semua tempat, entah rumah pribadi, ruko, bangunan permanen atau semi permanen, yang tidak memenuhi syarat sesuai PBM, dapat dikategori sebagai tempat ibadah yang bersifat sementara. Ini merupakan kategori dari masyarakat, bukan sebutan regulasi. Inilah yang sering menimbulkan persoalan di masyarakat.
Dengan semangat toleransi dan kebersamaan, semua umat beragama perlu bersikap dewasa dalam beragama. Lebih baik bersikap ‘tahu diri’ dalam melaksanakan ibadah. Lebih-lebih bila ibadah yang dilakukan membutuhkan ruang, waktu dan lingkungan yang cukup atau dihadiri oleh jemaah dari luar wilayah. Bila dibutuhkan, lebih baik memanfaatkan fasilitas pemerintah seperti Kantor Urusan Agama untuk melaksanakan ibadah.
Dengan bersikap tahu diri, kita sebenarnya sedang membangun toleransi dan kedamaian di tengah masyarakat. Kita promosikan agama yang kita peluk dengan menggunakan semulia-mulianya cara. Peringatan 1 Muharram 1447 H dapat kita jadikan sebagai momentum untuk hijrah dari intoleransi.
Abu Rokhmad (Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI)