Kalau kamu tidak ingat apa yang terjadi di akhir game pertama, tenang saja, hampir tidak ada juga yang mengingatnya. Ceritanya memang tidak cukup menarik dan cara penyampaiannya pun tidak terlalu menggugah.
DS2 tidak memiliki masalah yang sama. Karakter-karakternya kali ini benar-benar hadir dan tidak sekadar tampil seperti bintang tamu.
Tokoh utama Sam Porter Bridges (diperankan oleh Norman Reedus) memulai perjalanan untuk menghubungkan seluruh Australia ke chiral network, semacam internet ajaib yang memungkinkan pencetakan 3D berkualitas tinggi.
Dalam perjalanannya, Sam ditemani oleh kru unik di kapal baru bernama DHV Magellan, termasuk Fragile (Léa Seydoux), Tarman (disuarakan oleh Marty Rhone dengan wajah George Miller, sutradara Furiosa), dan boneka bicara bernama Dollman yang juga bertindak seperti terapis pribadi Sam.
Para karakter dalam game ini banyak menghabiskan waktu secara fisik bersama Sam. Kamu akan lebih sering melihat dan mendengar mereka dibandingkan game pertama. Hal ini memang kecil, tapi dampaknya besar.
Cerita Death Stranding 2 bersinar terang terutama ketika terlihat jelas bahwa Kojima dan rekan penulisnya, Shuyo Murata dan Kenji Yano, membaca berita dunia dan menyisipkan komentar mereka tentang arah masa depan dunia.
Secara eksplisit, DS2 menyatakan bahwa dominasi budaya dan teknologi Amerika adalah penyebab kekerasan dan penderitaan global. Para karakter secara gamblang menyebut perluasan jaringan chiral sebagai kebijakan ekspansionis dari United Cities of America (UCA), penerus dari Amerika Serikat.
Walaupun jaringan ini membawa kemudahan dalam kehidupan sehari-hari, ia juga membawa teror supranatural dan gelombang kekerasan bersenjata, membuat kita bertanya, “Apakah semua konektivitas ini benar-benar layak?”
Dan ya, ada bagian di mana presiden UCA tidak dipilih lewat pemilu demokratis, melainkan oleh kecerdasan buatan (AI) yang menilai keinginan masyarakat dan mengambil keputusan berdasarkan itu.
AI ini dikembangkan oleh organisasi swasta bernama APAC, yang dalam dialog diucapkan persis seperti AIPAC, kelompok lobi pro-Israel yang nyata dan punya pengaruh kuat dalam politik Amerika. Entah disengaja atau tidak, sulit untuk tidak memperhatikan kemiripan itu.
Ya, dalam Death Stranding 2, presiden dipilih secara tidak langsung oleh APAC. Tidak ada yang disamarkan. UCA dan APAC bekerja sama untuk ‘mencuci’ kekerasan ke seluruh dunia. Pesannya sangat jelas.
Elemen-elemen cerita yang kacau dan bisa memicu trauma (terutama soal keibuan dan kelahiran) juga muncul sepanjang narasi. Tapi menurut saya, justru itulah yang membuat game ini otentik.
Begitu banyak game AAA yang enggan menyentuh isu-isu dunia nyata. Dalam hal ini, DS2 terasa menyegarkan, dan menjadi semacam ‘kembali ke akar’ untuk kreator Metal Gear Solid.
Death Stranding 2 Tahu Ingin Menjadi Apa
Saya akan singkat di bagian ini karena saya sudah membahas perubahan desain dan mekanik DS2 secara mendalam, tetapi perlu disampaikan bahwa game ini jauh melampaui pendahulunya saat kamu tidak sedang menonton cutscene.
Ini karena adanya penekanan yang lebih besar pada stealth dan pertarungan, dua hal yang sebenarnya sudah ada di Death Stranding, tapi sebelumnya terasa tidak pada tempatnya.
Markas musuh manusia di game pertama hanya sekadar ada, penuh barang curian, namun jarang menimbulkan ancaman nyata. Tidak ada alasan untuk bertarung kecuali kamu ingin membangun seluruh jalan tol dalam game.
DS2 dengan cerdas meletakkan banyak markas musuh langsung di jalur pengirimanmu, memaksamu berpikir untuk menghindar atau menerobos. Kini kamu juga dibekali senjata non-mematikan yang jauh lebih fleksibel.
Kalau ingin menghadapi musuh secara brutal, kamu bisa. Tapi jika ingin menyelinap, banyak alat stealth seru yang bisa digunakan.
Dengan pendekatan ini, DS2 terasa jauh lebih mantap dalam visinya sebagai game aksi ‘pekerja lepas’. Ya, kamu masih akan menghabiskan banyak waktu hiking damai di Australia sambil mendengarkan lagu dari CHVRCHES, tapi kadang kamu harus bertarung. Hal ini membuat permainan jauh lebih seru dan beragam dibanding game pertama.
Death Stranding 2 Menyimpan yang Terbaik di Akhir
Terakhir tapi tidak kalah penting: salah satu masalah terbesar Death Stranding adalah enam jam terakhir yang sangat membosankan.
Bagian akhir itu penuh dengan tembak-tembakan third-person yang buruk, cutscene tak menarik, dan momen membingungkan di pantai yang membuat pemain tidak yakin apakah game-nya sudah selesai atau belum.
Kabar baiknya, tanpa membocorkan apa pun, DS2 benar-benar belajar dari kritik tersebut dan justru menyimpan bagian terbaiknya untuk empat jam terakhir.
Game-game terbaik Kojima selalu memiliki bab penutup yang luar biasa, penuh kejutan dan eskalasi yang menyenangkan dan DS2 tidak berbeda. Saya tersenyum lebar hampir sepanjang bab akhir, bahkan sampai tertawa lepas.
Bukan karena game-nya konyol, tapi karena ia tahu bagaimana bersenang-senang dengan absurditasnya.
Ada banyak tema menarik yang bisa direnungkan di bagian akhir, tapi meskipun kamu tidak tertarik menganalisis, kamu tetap akan menghargai betapa gilanya akhir game ini.
Singkatnya: saya bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ada game AAA yang membuat saya bertanya-tanya, “Kok ini bisa lolos dari para petinggi perusahaan?” sebanyak yang dilakukan DS2 di jam-jam terakhirnya. Saya butuh orang-orang menyelesaikan game ini agar bisa berdiskusi. Jadi, hentikan membaca artikel ini dan segera mainkan. Serius.