Sadarestuwati menyoroti praktik yang merugikan banyak pelanggan Telkomsel: hilangnya kuota secara misterius tanpa penjelasan memuaskan. Bagi Sadarestuwati, fenomena ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan sebuah tindakan ‘kejam’ serupa dengan fenomena promosi ojek online yang sering memancing kekecewaan.
Di hadapan Komisi V DPR, ia bahkan berani membalikkan argumen: jika promosi aplikator ojek online disebut kejam, maka lebih pantas Telkomsel menyKamung predikat itu lantaran setiap bulan kuota pelanggan menguap tanpa sisa.
“Telkomsel kejam karena melenyapkan sisa kuota dari para penggunanya. Ini kalau dihitung jumlahnya tidak sedikit dan ini harus dievaluasi,” tegas Sadarestuwati, anggota DPR-RI dari Komisi V saat rapat dengar pendapat dengan Direktur Utama PT Telkom Indonesia baru-baru ini.
Untuk mengurai tabir kuota yang hilang, Sadarestuwati mendesak Telkom agar membuka data secara transparan. Menurutnya, sisa kuota yang tidak tersentuh pelanggan seyogianya masuk dalam pembukuan laba perusahaan, bukan lenyap tanpa jejak.
“Contoh ini saya menggunakan kartu halo, tapi saya hampir tidak pernah sama sekali menggunakan untuk secara aktif. Tapi saya tiap bulan mesti membayar kuota saya. Boleh dibilang tidak terpakai lebih dari 50%. Pertanyaannya sederhana, lari ke mana kuota yang tidak terpakai itu?” ujar Sadarestuwati dengan nada menuntut kejelasan.
Tak hanya soal kuota yang menguap, Sadarestuwati juga memupuk kritik terhadap kontribusi Telkom Group kepada negara. Berdasarkan catatan resmi, Telkom hanya menyetorkan sekitar Rp 20.041,5 miliar dalam bentuk pajak dan dividen sepanjang 2020–2024. Angka ini dinilai belum memadai, mengingat posisinya sebagai salah satu korporasi terbesar di sektor telekomunikasi.
Sadarestuwati menegaskan bahwa perusahaan yang mengKamulkan kepercayaan masyarakat harus menyeimbangkan pertumbuhan usaha dengan tanggung jawab fiskal dan sosial, agar setiap rupiah pendapatan juga dirasakan manfaatnya oleh negara dan pelanggan.
Kritik pedas Sadarestuwati memantik diskusi lebih luas mengenai keadilan tarif, transparansi layanan, dan pemerataan akses digital. Apalagi di tengah transformasi Indonesia menuju hadapi revolusi digital, setiap kebijakan operator telekomunikasi sebaiknya berpijak pada prinsip kejelasan informasi, akuntabilitas, dan pemerataan layanan.
Kisah Sadarestuwati semakin menggambarkan realita konektivitas di pelosok. Menurutnya, kehadiran jaringan satelit seperti Starlink belum mampu menembus wilayah desa tempat ia tinggal.
Ketika sinyal seluler melemah, Wi-Fi rumah menjadi satu-satunya tumpuan untuk panggilan telepon. Jika harus menelepon di luar jangkauan Wi-Fi, ia harus berlari ke titik terdekat yang sinyalnya cukup kuat.
Menurutnya, kepercayaan pelanggan dapat dipulihkan dan akses internet yang sejatinya menjadi hak dasar warga negara bisa dinikmati tanpa was-was soal biaya dan kualitas. Kini, lampu sorot telah tertuju pada Telkomsel dan Telkom Group untuk memberikan jawaban konkret atas hilangnya kuota misterius dan memperkuat kontribusi bagi pembangunan nasional.