Orang beriman tentu percaya dengan rukun iman yang terdiri dari 6 komponen keimanan, yang masyhur menurut para ulama. Nah iman yang terakhir adalah, menerima ketentuan baik dan buruk dari Allah SWT, yakni takdir. Beberapa ulama mengkategorikan iman kepada takdir terdiri dari dua hal, yakni takdir muallaq dan mubram. Muallaq artinya takdir yang telah ditentukan tetapi ada upaya-upaya yang dilakukan oleh manusia sehingga takdir tersebut bisa berubah karena keterlibatan manusia di dalamnya. Sementara takdir mubram, ketentuan yang tidak bisa diubah oleh manusia, seperti umur atau usia, kelahiran dan kematian dan lain-lain, hanya Allah yang mengetahui.
Takdir atau menerima kebaikan dan keburukan berarti sebuah Upaya spiritual seseorang terhadap apa yang menimpa di dalam dirinya. Berupa kesenangan atau kesedihan, kemudahan atau kesulitan, kelonggaran atau kesempitan atas apa yeng menimpa di dalam diri seseorang dalam melaksanakan kegiatan atau aktifitas hidup kehidupan. Terutama kegiatan ibadah haji. Sering saya sampaikan, bahwa tiap orang memiliki masalah masing-masing dan berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Jika penyelenggaraan haji tahun ini sejumlah 221.000 jemaah, maka kalau kita berandai satu orang memiliki satu masalah, maka ada 221.000 masalah yang mengikuti dalam diri mereka. Ditambah 4.200an petugas haji, mereka juga memiliki masalahnya masing-masing.
Sebanyak 221.000 masalah itu kalau tiap Jemaah memiliki satu masalah. Sungguh luar biasa, penyelenggaraan haji, dari tahun ke tahun selalu saja ada problem yang mengitarinya atau yang menggelayutinya. Bayangkan kalau tiap Jemaah diterpa 10 masalah, maka petugas atau beban penyelenggara menjadi bertambah satu digit dari 221.000, yakni 2.210.000 masalah. Faktanya tiap orang atau Jemaah memiliki problem dirinya lebih dari satu masalah. Bahkan ada yang lebih dari 10 masalah. Problem baik urusan hati, maupun problem fisik. Jika ada yang mengatakan bahwa haji adalah kegiatan ibadah yang berbau fisik, artinya fisik menjadi ukuran utama bagi pelaku yang akan menunaikan ibadah haji. Sehingga kebijakan Arab Saudi sering menyampaikan pembatasan usia Jemaah yang akan berangkat menunaikan ibadah haji. Dan itu sering di Batasan pada usia maksimal 65 tahun. Di atas itu, dibatasi hanya maksimal 7 persen atau usia di atas 66 sd 90 tahun dan 5 persen 91 sd di atasnya.
Fisik sebagai ukuran dalam proses pelaksanaan haji ini memang tidak dipungkiri menjadi sesuatu yang memperlancar mereka dalam melaksanakan rukun haji dan wajib serta sunnahnya. Bertahan di Arafah, di sebuah tenda, dengan Terik matahari yang panas, bahkan suhu bisa mencapai 48 atau bahkan 50 derajat celcius, adalah tantangan yang tidak mudah. Mabit di muzdalifah tanpa tenda, hanya beralaskan karpet yang berjubel dengan beratap langit menembus batas-batas pori-pori malaikat yang meluncur kehadirat Tuhan. Berada di Mina selama 4 hari, untuk menunaikan jamarat aqabah, lalu tahallul awal, dan jamarat di tasyrik dengan pilihan nafar tsani sehingga sampai hari keempat atau tasyrik 13 dzulhijjah. Pemerintah memilih nafar awal karena menjaga dan menghindari kelelahan fisik Jemaah. Efort untuk melakukan jamarat demikian luar biasa, jalan kaki setiap individu untuk melaksanakan kewajiban itu, yang biasanya menyebabkan banyak Jemaah kelelahan dan tak berdaya, baik di sekitaran jamarat atau perjalanan menuju jamarat dan pulang ke tenda Mina. Dan diakhiri dengan thawaf ifadhah, 7 kali putaran, sai dengan 7 kali dan dilanjutkan tahallul kedua.
Seorang yang lansia, saat dikonfirmasi, mengapakah engkau melakukan jalan pergi pulang untuk jamarat? Sejatinya bisa dibadalkan oleh petugas atau teman yang lebih kuat fisiknya. Mereka merespon dan menjawab dengan lugas, bahwa saya ingin merasakan dan melihat dengan mata saya sendiri kegiatan jamarat yang dilakukan oleh orang-orang yang menunaikan ibadah haji. Dan juga ingin merasakan suasana batin yang dihadapinya saat melaksanakan lempar jumrah.
Sungguh jawaban yang luar biasa dalam memotivasi diri, sehingga tidak sedikit yang lansia, tertatih-tatih bahkan yang didorong kursi roda, mereka melakukan jamarat dengan kepuasan batin mereka dalam menjalankan ibadah kepada allah swt.
Perjuangan untuk melaksanakan rukun wajib dan sunnah haji secara fisik luar biasa berat. Di samping waktu yang bersamaan, berhimpitan dengan seluruh manusia yang hadir menyerahkan diri kepada Tuhan untuk melaksanakan perintahnya itu, berjalan dengan beberapa kilometer untuk mencapai tujuan dan kepulangan, membutuhkan fisik yang tidak hanya prima dalam konteks spiritual. Keprimaan seseorang dalam melaksanakan kewajiban itu tidak menjadi sesuatu yang unggul ternyata. Ada aspek lain dalam menumpahkan kerinduan akan pelaksanaan haji itu. Ketaatan akan mengikuti idolanya, yakni keluarga ibrahim as, sebagai napak tilas yang telah dilakukan oleh keluarga itu. Sesuai petunjuk yang diberikan Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW, saat ini seseorang bisa menunaikan ibadah haji dengan ketentuan syariat yang sudah distrukturisasi oleh Nabi Muhammad SAW. Ketertiban pelaksanaan ibadah, ketentuan dan larangan selama berihram, kategori atau model haji (ifrad, qiran dan tamattu).
Kenapa tidak sekedar fisik? Ya, haji dilaksanakan dengan waktu yang bersamaan, di tempat yang sudah ditentukan secara syariat, sebagai pusat berkumpulnya Jemaah dalam melaksanakan haji. Mereka dari berbagai penjuru dunia berkumpul untuk melaksanakan ibadah itu. Terjadilah interaksi baik langsung maupun tidak langsung antar manusia sejagat itu. Dengan karakter yang berbeda, kultur yang berbeda, warna kulit, rakyat biasa dan pejabat negara, miskin dan kaya, semuanya sama dalam dua helai kain ihram untuk berserah diri secara hanafiah samhah, kepada sang pencipta, semuanya melepaskan diri dari genggaman dunia, hanya untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhannya. Mempertaruhkan dirinya dalam serendah-rendahnya hanya kepada Allah SWT.
Penyerahan diri sepenuhnya ini menjadi bagian yang terpenting dalam ketaatan seseorang menjalankan ibadah haji. Artinya akibat yang akan muncul dalam perjalanan seseorang menunaikan ibadah haji adalah proses takdir yang diterima dan dirasakan oleh tiap orang berbeda yang satu dengan yang lain. Ada pribadi yang sejak berangkat dari rumah sampai Kembali lagi ke rumahnya diberi kemudahan dan kelancaran, Kesehatan dan kebahagiaan, fa ammal insanu idza mabtalahu rabbuhu fa akramahu wa na’amahu fayaqulu rabbi akraman, orang tersebut diberi kenikmatan dan kemuliaan oleh Allah SWT. Takdir kebaikan dan kemuliaan menimpanya, untuk mengukur seberapa jauh ia mensyukuri semuanya.
Sementara ada juga yang mendapat kesulitan baik dari rumah dan bahkan sampai Kembali ke rumahnya lagi. Wa amma idza mabtalahu faqaddara alaihi rizqahu fayaqulu robbi ahanan, ia mengatakan dalam keadaan dihinakan. Ada juga yang seimbang dan ukuran-ukuran lain kalau seandainya ada barometer yang mengukurnya. Dan suasana lahir batin lain yang menimpa pada diri Jemaah yang ternyata berbeda, bahkan antara isteri dan suami atau orang tua dengan anak, juga berbeda yang dirasakan kenikmatan dalam bentuk takdir baik atau buruk yang menimpanya.
Semuanya itu mereka sedang menjalankan takdirnya masing-masing, disinilah ujian dan cobaan yang menimpa tiap orang yang melaksanakan haji. Tiap orang berbeda berat dan ringan ujian itu. Disinilah Jemaah haji sedang menunaikan takdirnya, apakah ia menerima kebaikannya lalu bersyukur atau menerima keburukannya sehingga introspeksi untuk melakukan perbaikan. La rofas, wala fusuqa, wala jidal, menjadi trilogy pelaksanaan takdir dalam menjalankan ibadah haji, yang itu seharusnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari setelah haji secara fiqh dilaksanakan. Disinilah pemerintah mencanangkan menjaga kemabruran sepanjang umur, artinya setelah melaksanakan atau menunaikan ibadah haji, yang terpenting adalah istiqomah dan menjaga kemabruran itu, dengan tidak rofas, fusuq, dan jidal.
Tidak rofas, berarti seseorang yang telah menunaikan ibadah haji, tidak lagi dalam benaknya atau hatinya kotor secara syahwat. Hembusan atau bisikan “saru” (Bahasa Jawa), atau kotor secara sex. Membayangkan dan menghembuskan atau bahkan terbersit dalam hatinya harus dinafikan, agar hati bersih.
Fusuq, berarti segala kemaksiatan dan perbuatan dosa apapun terutama dosa-dosa kecil. Seyogianya orang yang telah berhaji menjaga diri dan hatinya dari fasiq, perbuatan dosa kecil yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya bertetangga, berteman dan berinteraksi dengan sesama, dengan alam dan lain-lain, harus dijaga keseimbangan dan ketertiban serta keharmonisannya.
Jidal, berarti orang yang telah menunaikan ibadah haji, menghindari pertikaian dan pertengkaran serta permusuhan, baik dalam ungkapan perkataan apalagi tindakan/perbuatan. Ketika dijumpai atau menimpa dalam dirinya takdir itu, hindarilah agar tidak mudah aib itu dicurahkan, baik dalam bentuk ujaran perkataan maupun tulisan di media yang dimilikinya.
Trilogy larangan selama dalam berhaji ini, dan meneladani Ibrahim as serta melaksanakan manasik sesuai ajaran Nabi Muhammad SAW menjadi penting untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Penerimaan secara penuh terhadap takdir yang menimpanya mnenjadi seberapa dalam keimanan seseorang. Semoga Jemaah haji dunia dan terutama Indonesia dapat menerapkan tri logi larangan berhaji ini untuk menerima takdirnya sehingga meraih haji mabrur.
Akhmad Fauzin (Kepala Biro HKP)