Tulisan ini terinspirasi dari kegiatan Rapat Koordinasi dan Konsultasi Inspektorat Jenderal Kementerian Agama Republik Indonesia dengan jajaran Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah, Rabu (25/6/2035),
Kegiatan ini digelar untuk menyampaikan hasil pengawasan Inspektorat Wilayah III pada semester I tahun 2025. Dalam rentang waktu tersebut, terdapat 25 jenis penugasan yang tersebar di beberapa lokus mencakup satuan kerja Kemenag, lembaga pendidikan, lembaga zakat, serta rumah ibadah lintas agama di berbagai kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah.
Berdampak
Momentum ini menjadi refleksi strategis bagi seluruh pemangku kepentingan di lingkungan Kementerian Agama. Betapa tidak, pengawasan yang semula lazim sebagai tugas kontrol birokrasi kini bergeser ke arah paradigma progresif, yakni pengawasan yang berdampak, membangun, dan mendorong transformasi kelembagaan. Konsep yang digaungkan adalah “Pengawasan Berdampak: Solutif, Kolaboratif, dan Berkelanjutan.”
Hasil pengawasan selama semester I mengungkap sejumlah catatan kritis yang mencerminkan kondisi aktual kelembagaan kita. Di berbagai satuan kerja, pelaksanaan zona integritas masih menghadapi tantangan serius, terutama dalam hal penguatan tata kelola, sumber daya manusia dan sistem pengawasan internal yang belum terintegrasi optimal. Masih terdapat kesenjangan antara semangat membangun birokrasi bersih dengan implementasi konkret di tingkat unit kerja.
Lebih lanjut, pengelolaan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) untuk layanan nikah dan rujuk belum sepenuhnya mengoptimalkan sistem digital SIMKAH. Hal ini menunjukkan bahwa transformasi digital belum berjalan merata, baik dari sisi kesiapan sumber daya manusia maupun dari dukungan teknis di lapangan. Pada sisi lain, lembaga pengelola zakat (LPZ) memerlukan pembinaan yang lebih intensif agar kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah dan transparansi akuntabilitas dapat terjaga secara konsisten.
Tuntutan Setara
Pengawasan juga menyoroti pelayanan rumah ibadah lintas agama yang belum memiliki standar layanan setara. Ketimpangan ini berdampak pada kualitas pelayanan dan berpotensi mengundang tuntutan umat.
Pemerintah, melalui Kementerian Agama, harus hadir dengan regulasi dan pedoman teknis yang berpihak pada kesetaraan dalam keberagaman. Di tengah kemajemukan bangsa, hal ini menjadi sangat strategis untuk menjaga kohesi sosial dan harmoni keberagamaan.
Budaya Kerja
Di sisi lain, pengelolaan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) masih banyak bersifat administratif. Dokumen disusun hanya untuk memenuhi kewajiban formal, bukan sebagai refleksi pencapaian hasil yang nyata.
Budaya kerja berbasis outcome masih menjadi pekerjaan rumah yang belum sepenuhnya dituntaskan. Sebuah institusi tidak bisa dikatakan berhasil hanya karena berhasil menyusun dokumen kinerja; keberhasilan harus diukur dari sejauh mana dokumen tersebut berkontribusi terhadap perbaikan layanan dan peningkatan kepercayaan publik.
Satu lagi catatan penting muncul dalam pengelolaan wakaf. Koordinasi antarlembaga dan upaya digitalisasi data wakaf dinilai masih lemah. Padahal, potensi ekonomi dan sosial dari tanah wakaf sangat besar jika dikelola secara profesional dan modern.
Lemahnya sistem informasi wakaf membuat banyak aset belum produktif, bahkan berisiko minimal fungsi sosialnya. Dalam konteks ini, pengawasan mendorong reformasi tata kelola aset wakaf berbasis data yang transparan dan akuntabel.
Kolaborasi
Rapat Koordinasi-Konsultasi dengan Kanwil Kemenag Jawa Tengah merupakan kolaborasi Inspektur III Aceng Abdul Azis dan Kepala Kanwil Kemenag RI Provinsi Jawa Tengah H. Saiful Mujab, menegaskan bahwa semua temuan dan rekomendasi hasil pengawasan harus segera ditindaklanjuti.
Masing-masing satuan kerja didorong untuk membuat Rencana Aksi Tindak Lanjut (RATL), menyusun langkah-langkah konkret, dan melakukan pemantauan melalui Sistem Informasi Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Inspektorat Jenderal.
Lebih dari sekadar tindak lanjut dokumen, pengawasan ini diarahkan untuk mendorong perbaikan sistemik pada tata kelola, manajemen risiko, dan kepatuhan (governance, risk, compliance/GRC)–tiga elemen yang menjadi bagian dari budaya organisasi.
Tanpa perbaikan GRC secara konsisten, berbagai rekomendasi pengawasan hanya akan berakhir di meja kantor tanpa daya ubah.
Dalam konteks manajemen organisasi modern, pengawasan tidak bisa lagi diposisikan sebagai fungsi yang terisolasi. Ia harus terintegrasi dalam keseluruhan siklus manajemen kinerja.
Fungsi pengawasan internal yang kuat merupakan pilar penting dalam membangun organisasi yang responsif atas dinamika, mampu mengelola risiko, dan menjamin akuntabilitas publik. Pengawasan yang solutif mendorong perbaikan, yang kolaboratif memperkuat sinergi, dan yang berkelanjutan menjamin kesinambungan perubahan.
Namun demikian, seluruh sistem dan instrumen teknokratis tersebut tidak akan efektif tanpa integritas personal yang kokoh dari aparatur sipil negara. Jangan dibiarkan integritas berhenti sebagai istilah moral, tapi jadikan sebagai etos kerja yang ditunjukkan dalam disiplin, kejujuran, dan tanggung jawab.
Pegawai yang hadir tepat waktu, bekerja dengan ikhlas, dan menghindari penyimpangan adalah potret konkret dari ASN berintegritas. Gratifikasi, konflik kepentingan, dan penyalahgunaan kewenangan adalah bentuk-bentuk pengabaian terhadap amanah publik yang tidak boleh ditoleransi.
Religiusitas
Religiusitas dan spiritualitas menjadi pondasi moral yang tak tergantikan dalam membentuk karakter ASN Kementerian Agama. Institusi ini tidak hanya dituntut akuntabel secara administratif, tetapi juga harus menjadi teladan dalam dimensi etika dan moral.
Pegawai Kemenag adalah wajah negara dalam urusan keagamaan. Oleh karena itu, mereka harus menjadi cermin dari nilai-nilai luhur agama dalam setiap langkah dan keputusan.
Bekerja di Kementerian Agama harus diposisikan sebagai langkah dan bagian dari ibadah. Ketika pelayanan publik diniatkan sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan, maka keikhlasan dan kejujuran akan menjadi nilai yang hidup.
Motto “Ikhlas Beramal” tidak boleh berhenti sebagai semboyan; ia harus menjadi kesadaran kolektif yang mewarnai budaya kerja. Dalam konteks ini, reformasi birokrasi bukan hanya urusan sistem, tetapi juga urusan nurani.
Membangun birokrasi yang tangguh dan bersih memang bukan perkara mudah. Ia menuntut keberanian, keteladanan, dan konsistensi dari seluruh elemen organisasi. Pengawasan internal adalah mitra strategis dalam proses ini. Ia hadir bukan untuk mencari-cari kesalahan, melainkan untuk mengajak seluruh jajaran berbenah dan bertumbuh. Ia tidak datang untuk menakut-nakuti, tetapi untuk memberi arah.
Prinsip Kaizen
Rapat koordinasi-konsultasi di Jawa Tengah telah memberi pesan yang kuat bahwa pengawasan harus menjadi instrumen perubahan, bukan sekadar kelengkapan kinerja. Ia harus menjadi pendorong utama transformasi tata kelola, kualitas layanan, dan budaya kerja. Semua ini akan dapat terwujud jika pengawasan dijalankan dengan pendekatan etis, edukatif, dan berbasis data.
Kini saatnya menjadikan pengawasan sebagai refleksi dari komitmen kita untuk menghadirkan birokrasi Kementerian Agama yang profesional, terpercaya, dan bermartabat. Dengan semangat pengawasan berdampak, mari kita kuatkan sinergi, tegakkan integritas, dan dorong perbaikan berkelanjutan (kaizen) demi pelayanan publik yang lebih baik.
Inilah waktunya menjadikan setiap temuan sebagai peluang, setiap rekomendasi sebagai langkah perubahan, dan setiap ASN sebagai agen reformasi. Karena sejatinya, perubahan besar selalu dimulai dari kesadaran kecil yang diwujudkan secara konsisten.***
Aceng Abdul Azis (Inspektur III pada Itjen Kemenag