Pemerintah Malaysia kembali menunjukkan sikap tegasnya terhadap platform digital global. Kali ini, giliran Telegram yang tersandung kasus hukum. Komisi Komunikasi dan Multimedia Malaysia (MCMC) berhasil mendapatkan perintah pengadilan sementara terhadap Telegram dan dua kanal populernya, yakni “Edisi Siasat” dan “Edisi Khas”, atas dugaan penyebaran konten berbahaya yang dinilai melanggar hukum nasional.
Langkah hukum ini menandai eskalasi serius dalam upaya pemerintah Malaysia untuk menertibkan ruang digital, terutama terhadap platform asing yang dianggap tidak kooperatif dalam menangani laporan masyarakat.
Dalam pernyataan resminya, MCMC menyatakan bahwa konten yang disebarkan oleh dua kanal tersebut berpotensi “merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara dan mengganggu keharmonisan masyarakat.”
Meskipun MCMC tidak mengungkap secara rinci jenis konten yang dimaksud, narasi ini mengindikasikan kekhawatiran terhadap penyebaran informasi yang bersifat sensasional atau provokatif terkait isu politik, sosial, dan hukum.
Pengadilan Tinggi Malaysia pun menyetujui permohonan MCMC dengan mengeluarkan perintah injunksi sementara, yang isinya menghentikan penyebaran konten yang dianggap melanggar serta melarang publikasi ulang konten serupa. Langkah ini memberi sinyal kuat bahwa pemerintah tidak segan mengambil jalur hukum terhadap platform yang dinilai abai terhadap regulasi lokal.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Telegram belum memberikan pernyataan resmi. Namun, MCMC menegaskan bahwa Telegram akan diberi kesempatan untuk membela diri di pengadilan, sesuai dengan prinsip keadilan dan hak asasi.
“Telegram akan diberikan peluang yang adil untuk menyampaikan pembelaannya, sejalan dengan prinsip keadilan dan hak asasi,” tegas MCMC, seperti yang juga diberitakan Reuters.
Langkah ini juga terkait erat dengan regulasi baru yang diterapkan Malaysia pada awal tahun 2025. Dalam aturan tersebut, seluruh platform media sosial dan layanan pesan instan dengan lebih dari 8 juta pengguna di Malaysia wajib memiliki lisensi resmi, atau bersiap menghadapi sanksi hukum.
Aturan ini muncul di tengah meningkatnya kekhawatiran terhadap kejahatan siber dan konten daring yang meresahkan, mulai dari perjudian online, penipuan, pelecehan anak, hingga ujaran kebencian berbasis ras dan agama.
Kasus Telegram ini bisa menjadi peringatan keras bagi platform digital global lainnya yang beroperasi di Malaysia bahwa era toleransi terhadap ketidakpatuhan teknolog raksasa terhadap hukum lokal sudah berakhir.
Malaysia bukan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang memperketat regulasi terhadap platform asing. Sebelumnya, Indonesia dan Vietnam juga telah menerapkan kebijakan serupa dengan alasan menjaga kedaulatan digital dan ketertiban sosial.
Jika Telegram gagal memberikan jawaban yang memadai di pengadilan, bukan tidak mungkin pemerintah Malaysia akan membatasi akses atau bahkan memblokir layanan tersebut di masa mendatang, sebuah langkah yang sebelumnya juga dilakukan terhadap beberapa situs dan platform kontroversial lainnya.