Dalam menjalani kehidupan di dunia ini tidak selamanya berjalan dengan mulus. Pada saat tertentu, ada kalanya menemukan jalan terjal berupa musibah. Dalam menghadapi situasi seperti ini, umat Islam dituntut untuk menghadapinya dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.
Para ulama menerangkan bahwa di balik musibah terdapat hikmah yang bisa dipetik pelajarannya. Selain itu, ada juga tips yang bisa menjadi penawar untuk memberikan ketenangan batin. Di antara ulama yang menjelaskan hal tersebut adalah Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, sebagaimana ia ungkapkan dalam kitab Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil Ibad, (Beirut, Muassasah Ar-Risalah: 1998) juz IV, halaman 173-176.
Ibnu Qayyim dalam kitab tersebut menjelaskan, setidaknya ada 5 hikmah dan tips dalam menghadapi sebuah musibah yang menimpa umat Islam, yakni sebagaimana berikut:
1. Semuanya Titipan Allah
Ketika seorang muslim mendapat musibah, mestinya meyakini bahwa jiwa raganya, hartanya, maupun keluarganya adalah titipan dari Allah. Maka ketika semuanya itu diambil kembali oleh Allah, hal demikian ibarat seorang pemberi pinjaman yang mengambil kembali barang miliknya dari orang yang meminjam.
Lebih dari itu, semua yang dimiliki pada mulanya berawal dari tidak ada dan pada akhirnya akan kembali menjadi tidak ada. Karena itu, kehilangan sesuatu seharusnya dipandang sebagai hal yang wajar, sebagaimana keadaan sebelum ia memilikinya. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 155:
اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn” (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami akan kembali).”
2. Senang dan Sedih Sewajarnya
Sebagaimana diketahui, manusia saat lahir ke dunia ini tidak membawa apa-apa. Pada akhirnya pun ia akan kembali kepada Allah dalam keadaan tidak membawa apa-apa, kecuali amal perbuatannya. Maka, ketika mendapatkan sesuatu yang menyenangkan atau menyedihkan mestinya disambut dengan sewajarnya karena semua itu akan datang silih berganti dan pada akhirnya akan kembali hilang.
Selain itu, seorang muslim juga perlu meyakini bahwa kehidupan di muka bumi ini dikendalikan oleh Allah. Sesuatu yang sudah ditetapkan menjadi bagian seseorang pasti akan sampai kepadanya. Sebaliknya, sesuatu yang bukan menjadi bagiannya tentu tidak akan pernah dimiliki. Allah berfirman dalam Al-Qu’an Surat Al-Hadid ayat 22-23:
مَآ أَصَابَ مِنْ مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِيٓ أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَنْ نَّبْرَأَهَا ۗ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ ٢٢ لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَآ آتَاكُمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ ٢٣
Artinya: “Tidak ada bencana (apa pun) yang menimpa di bumi dan tidak (juga yang menimpa) dirimu, kecuali telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sesungguhnya hal itu mudah bagi Allah. (Yang demikian itu kami tetapkan) agar kamu tidak bersedih terhadap apa yang luput dari kamu dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
3. Mengingat Nikmat yang Lain
Saat tertimpa musibah hendaknya seorang muslim tidak terfokus pada musibah tersebut melainkan beralih pandangannya pada nikmat lain yang masih tersisa. Dengan begitu, ia akan lebih mudah bersyukur dan menyadari bahwa karunia Allah masih jauh lebih besar dibandingkan dengan apa yang hilang. Allah berfirman dalam Surat An-Naḥl ayat 18:
وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: “Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ketika seorang hamba mampu bersabar dan rida atas musibah yang terjadi, maka Allah akan menyiapkan balasan yang berlipat ganda dan lebih besar dari sebelumnya. Selain itu, ia juga perlu meyakini bahwa seandainya Allah menghendaki, musibah yang dialami itu bisa saja jauh lebih besar dan lebih berat namun berkat kasih sayang-Nya hal itu tidak terjadi.
4. Memandang ke Bawah
Ketika seseorang tertimpa musibah hendaknya menyadari bahwa dia tidak sendirian. Masih banyak orang lain yang menghadapi musibah serupa, bahkan lebih berat. Pasalnya, semua orang mempunyai masalah, musibah, atau ujian. Namun bentuk dan kadarnya disesuaikan dengan kapasitas masing-masing. Dengan mengingat hal ini, beban hidup akan terasa lebih ringan dan juga bisa tetap bersyukur kepada Allah. Rasulullah bersabda:
اُنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ
Artinya: “Lihatlah orang yang berada di bawah kalian dan jangan melihat orang yang berada di atas kalian, karena yang demikian itu lebih patut, agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kalian.” (HR Bukhari Muslim)
5. Tidak Meratapi Nasib
Meratapi nasib atas musibah yang terjadi bukanlah perilaku bijak. Ratapan kegelisahan tidak akan bisa mengubah keadaan, justru hal itu malah akan menambah beban. Allah pun akan murka karena seolah tidak menerima terhadap qada dan qadar yang telah ditetapkan oleh-Nya. Rasulullah bersabda:
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ
Artinya: “Sesungguhnya besarnya pahala itu sesuai dengan besarnya ujian. Dan sesungguhnya apabila Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menguji mereka. Barangsiapa yang ridha (terhadap ujian itu), maka baginya keridhaan (dari Allah). Dan barangsiapa yang murka (terhadap ujian itu), maka baginya kemurkaan (dari Allah).” (HR. At-Tirmidzi).
Demikian beberapa hikmah dan tips dalam menghadapi musibah menurut Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Setiap musibah yang datang bukanlah menjadi akhir dari segalanya, melainkan bisa menjadi sarana untuk melatih kesabaran, memperkuat keimanan, dan lebih mendekatkan diri kepada Allah. Wallahu a’lam.